Hai guys,
disini saya memberi sedikit pengetahuan yang saya peroleh. Selamat membaca
ya... semoga membantu
·
Musik Kontemporer
Musik kontemporer adalah istilah dalam bahasa Indonesia untuk
bidang kegiatan kreatif yang dalam konteks berbahasa Inggris paling sering
disebut musik baru, musik kontemporer, atau, lebih tepatnya, musik seni
kontemporer. Ini menjadi istilah yang paling digemari di tahun1990-an. Tetapi
kesepakatan dalam penggunaan istilah ini membangkitkan pertanyaan tentang apa
yang termasuk dan apa yang tidak termasuk dalam musik kontemporer. Ini menjadi
sebuah inti dari perdebatan hangat dikalangan musisi dan pemikir yang biasanya
mempunyai persepsi yang berbeda.
Keanekaragaman Musik kontemporer secara resmi diakui dan
dilembagakan dan dalam hal ini ditetapkan sebagai sebuah gerakan yang lebih
besar, yaitu Pekan Komponis, sebuah pertemuan tahunan untuk para komposer dari
berbagai daerah di Indonesia. Pertemuan ini biasanya dilaksanakan di Taman
Ismail Marzuki Jakarta. Dari pertemuan yang pertama di tahun 1979, komposer
yang terlibat kebanyakan berasal dari yang berbasis tradisional. Bahkan,
komposer berbasis tradisional adalah yang terbaik mewakili delapan iterasi
awal, yang memberikan kontribusi lebih dari tiga kali lebih banyak dari
karya-karya itu dibanding rekan mereka yang berorientasi Barat.
·
Era Modern Kontemporer
Sejarah musik klasik akhirnya sampailah pada abad ini. Musik
pada era modern kontemporer ditandai dengan munculnya beberapa pencipta lagu
yang menolak nilai- nilai pada era sebelumnya sepertihalnya tonalty
traditional, pemilhan alat musik, melodi dan struktur. Mereka justry lebih
menitik beratkan pengembangan dan perpanjangan teori dan teknik bermusik.
Sebagai contohnya musik klasik abad ke- 20 an ( 1999 – 2000 ) yang terdiri dari
bermacam- macam kombinasi Post Romantic secara menyeluruh, termasuk juga Post
Modern dan Romantic Modern yang juga dibaur di dalamnya. Semoga informasi
sejarah musik klasik dunia di atas dapat menambah wawasan Anda tentang musik
klasik dan aliran – alirannya.
· ALIRAN-ALIRAN
FILSAFAT KONTEMPORER
Beberapa aliran-aliran dalam filsafat
kontemporer adalah sebagai berikut:
1.
Eksistensialisme
Eksistensi
berasal dari kata ex yang berarti keluar dan sister berarti berdiri atau
menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri dengan
keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensialisme tidak sama dengan
eksistensi tetapi ada kesepakatan diantara keduanya yaitu sama-sama menempatkan
cara wujud manusia sebagai tema pokok.
Secara umum eksistensialisme
merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa
filosof yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti
protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif
tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran,
penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan
sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal,
akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang
impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang
membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme
merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui
mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu
mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan
kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia
konkret.
Ada beberapa
ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi
diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia
dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan
berdasarkan pengalaman yang konkret.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi,
dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah
yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara
menempatkan dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan
eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti
sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya di dalam lingkungan
sosial), antropologi (berkaitan antar manusia dengan lingkungan budaya).
Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu
dihadirkan lewat kebebasan.
Namun, menjadi
eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang lain dari pada yang
lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali
manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi
esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan
sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari
eksistensialisme.
· Tokoh-tokoh
Eksistensialisme:
1) Soren
Aabye Kiekeegaard
Inti pemikiran
dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi
senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu
kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan
harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan
atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2)
Friedrich Nietzsche
Menurutnya
manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk
berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia
super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan
kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita
orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3) Karl
Jaspers
Memandang
filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya
ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan
obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri.
4) Martin
Heidegger
Inti
pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu
yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan
benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan
dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan
manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
5) Jean
Paul Sartre
Menekankan pada
kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk
menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah
makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
2.
Fenomonologi
Edmun Husserl
(1859-1938) menjadi pelopor filsafat fenomenologi. Ia adalah seorang filosof
dan matematikus mengenai intensionalisme atau pengarahan melahirkan filsafat
fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Ia selalu berupaya ingin mendekati
realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “Zuruck
zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti
dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita
membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita “mengambil
jarak” dari objek itu melepaskan objek itu dari pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala
itu kita cermati, maka objek itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya, dan
kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomen atau
fenomenon memiliki berbagai arti, yaitu: gejala semu atau lawan bendanya
sendiri (penampakan). Menurut para pengikut fenomenologi, suatu fenomen tidak
perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga di lihat
secara rohani, tanpa melewati indera. Untuk sementara dapat dikatakan, bahwa
menurut para pengikut filsafat fenomenologi, fenomen adalah “apa yang
menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa
adanya, apa yang jelas di hadapan kita.
Secara harfiah
fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa
fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme
bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa
meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode
pemikiran, “a way of looking at things”. Fenomenalisme adalah tambahan pada
pendapat Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak
mungkin ada hal yang melihat. Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari
“intensionalisme” yaitu hal yang disebut konstitusi.
Filsafat
Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan
untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu
itu melalui reduksi.
Para ahli
tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati,
memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu
aliran filsafat.
Dalam pengertian
suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati hanyalah
fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu
yang diamati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni. Tiga hal
yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a.
Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,
b.
Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta
c.
Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Setelah
mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau
reduksi epochal, fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi
belum mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu
dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua,
fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi
tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga
dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak
terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang
tertinggi.
Tokoh-tokoh
fenomenologi yang lain adalah, Max Scheller (1874-1928), Maurice Merleau-Ponty
(1908-1961).
3.
Pragmatisme
Pragmatisme
berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani.
Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah
apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang
bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang
kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya,
segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Aliran ini
bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis.
Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai
kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.
Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”
William James
(1842-1910 M), mengemukakan, bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku
umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.
Sebab pengalaman kia berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa
yang benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Menurutnya, pengertian
atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak
dapat dipergunakan itu keliru.
John Dewey
(1859-1952 M), menyatakan bahwa, manusia itu bergerak dalam kesunguhan yang
selalu berubah. Jika Ia sedang menghadapi kesulitan, maka mulailah ia berpikir
untuk mengatasi kesulitan itu. Jadi, berpikir tidaklah lain daripada alat untuk
bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman. Pandangannya mengenai filsafat
sangat jelas bahwa filsafat memberi pengaruh global bagi tindakan dalam
kehidupan secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pada pengalaman,
penyelidikan, dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis.
4.
Sosialisme-Komunisme (Marxisme)
Teori Marxist
dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah
penentangan terhadap adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab
yang paling utama didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi
proletariat (buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba mencari kesamarataan,
yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi kelas atas) dengan
kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx menganggap selama
ini golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum elit, sehingga
perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis.
Pemikiran Marx
tentang ide-ide sosialis, perjuangan masyarakat kelas bawah, terutama
disebabkan karena ia lahir di tengah pertumbuhan industri yang berbasis
kapitalis. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang
sangat panjang setiap hari , yang sifatnya paten dan dengan upah yang sangat
minim. Upah yang sangat minim yang diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup
membiayai makan sehari. Marx melihat kelas sosial yang tercipta berdasarkan
hubungan kerja yang terbangun antara para pemilik modal dan buruh sangat
bertentangan dengan prinsip keadilan. Kelas sosial paling bawah yang terdiri
atas kelompok buruh dan budak, sering diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya
kelas sosial yang menciptakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya
pada pemikiran ekstrem, penghapusan kelas sosial.
Filsafat modern
telah dianggap lebih sempurna dalam sisi pemikirannya, tapi pada faktanya masih
ada sisi kekurangannya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang
disebut Fisafat Kontemporer.
Ada dua
kekurangan pemikiran filsafat moderen: pertama, merasa bahwa penilaian terhadap
apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings)
dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua,
penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi
logis.
· Perkembangan
Musik Kontemporer di Indonesia
Di Indonesia,
perkembangan musik kontemporer baru mulai dirasakan sejak diselenggarakannya
acara Pekan Komponis Muda tahun 1979 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Melalui
acara itu komunikasi para seniman antar daerah dengan berbagai macam latar
belakang budaya lebih terjalin. Forum diskusi serta dialog antar seniman dalam
acara tersebut saling memberi kontribusi sehingga membuka paradigma kreatif
musik menjadi lebih luas. Sampai hari ini para komponis yang pernah terlibat
dalam acara itu menjadi sosok individual yang sangat memberi pengaruh kuat
untuk para komponis musik kontemporer selanjutnya. Nama-nama seperti Rahayu Supanggah,
Al Suwardi, Komang Astita, Harry Roesli, Nano Suratno, Sutanto, Ben Pasaribu,
Trisutji Kamal, Tony Prabowo, Yusbar Jailani, Dody Satya Ekagustdiman, Nyoman
Windha, Otto Sidharta dan masih banyak yang belum disebutkan, adalah para
komponis kontemporer yang ciri-ciri karyanya sulit sekali dikategorikan secara
konvensional. Karya-karya mereka selain memiliki keunikan tersendiri, juga
cukup bervariasi sehingga dari waktu ke waktu konsep-konsep musik mereka bisa
berubah-ubah tergantung pada semangat serta kapasitas masing-masing dalam
mengembangkan kreatifitasnya. Pada puncaknya, karya-karya musik kontemporer
tidak lagi menjelaskan ciri-ciri latar belakang tradisi budayanya walaupun
sumber-sumber tradisi itu masih terasa lekat. Akan tetapi sikap serta pemikiran
individual-lah yang paling penting, sebagai landasan dalam proses kreatifitas
musik kontemporer. Sikap serta pemikiran itu tercermin seperti yang telah
dikemukakan komponis kontemporer I wayan Sadra antara lain :
“Kini tak
zamannya lagi membuat generalisasi bahwa aspirasi musikal masyarakat adalah
satu, dengan kata lain ia bukan miliki kebudayaan yang disimpulkan secara umum,
melainkan milik pribadi orang per orang” (Sadra, 2003).
Mengamati
perkembangan musik kontemporer di daerah sunda tampaknya agak lamban. Selain
apresiasi masyarakat Sunda belum begitu memadai, para komponisnya yang relatif
sangat sedikit, juga dukungan pemerintah setempat atau sponsor-sponsor lain
untuk penyelenggaraan konser-konser musik kontemporer sangat kurang. Di
Yogyakarta misalnya, secara konsisten selama belasan tahun mereka berhasil
menyelenggarakan acara Yogyakarta Gamelan Festival tingkat Internasional yang
didalamnya banyak sekali karya-karya musik kontemporer dipentaskan. Kota Solo
pada tahun 2007 dan 2008 telah menyelenggarakan acara SIEM (Solo International
Ethnic Music). Banyak karya-karya musik kontemporer dipentaskan dalam acara itu
dengan jumlah penonton kurang lebih 50.000 orang. Festival “World Music” dengan
nama acara “Hitam Putih” di Riau, Festival Gong Kebyar di Bali dan lain
sebagainya. Acara-acara tersebut secara rutin dilakukan bukan sekedar “ritual”
atau memiliki tujuan memecahkan rekor Muri apalagi mencari keuntungan, karena
pementasan musik kontemporer seperti yang pernah dikatakan Harry Roesli merupakan
“seni yang merugi akan tetapi melaba dalam tata nilai”.
Sebenarnya
banyak komponis kontemporer di daerah Sunda yang cukup potensial, akan tetapi
sangat sedikit yang konsisten. Salah satu komponis pertama yang perlu disebut
adalah Nano S. Meskipun aktifitasnya lebih cenderung sebagai pencipta lagu,
akan tetapi beberapa karyanya seperti karya “Sangkuriang” atau “Warna” memberi
nafas baru dalam pengembangan musik Sunda. Komponis lain seperti Suhendi
Afrianto, Ismet Ruhimat sangat nyata upayanya dalam pengembangan instrumentasi
pada gamelan Sunda. Dodong Kodir yang cukup konsisten dalam upaya mengembangkan
aspek organologi dalam komposisinya, Ade Rudiana yang sukses dalam pengembangan
dibidang komposisi musik perkusi, Lili Suparli yang memegang prinsip kuat dalam
pengolahan idiom-idiom musik tradisi Sunda, serta tak kalah penting
komponis-komponis seperti Dedy Satya Hadianda, Dody Satya Eka Gustdiman, Oya
Yukarya, Dedy Hernawan, Ayo Sutarma yang karya-karyanya cukup variatif dan
memiliki orsinalitas dilihat dari aspek kompositorisnya. (posisi penulis
sebagai komponis juga memiliki ideologi yang kurang lebih sama dengan para
komponis yang terakhir disebutkan).
Dari beberapa
komponis Sunda seperti yang telah disebutkan di atas, secara kompositoris
karakteristik karyanya dapat dipetakan menjadi tiga kategori. Pertama adalah
karya musik yang bersifat “musik iringan”. Konsep komposisi dalam karya seperti
ini berdasar pada penciptaan suatu melodi (bentuk lagu/intrumental), kemudian
elemen-elemen lainnya berfungsi mengiringi melodi tersebut. Kedua adalah karya
musik yang bersifat “illustratif”. Konsep komposisinya berusaha menggambarkan
sesuatu dari naskah cerita, puisi dan lain-lain. Dengan demikian orientasi
musiknya lebih tertuju pada penciptaan suasana-suasana yang berdasar pada
interpretasi komponisnya. Ketiga adalah karya musik yang bersifat otonom. Karya
musik seperti ini biasanya sangat sulit dipahami oleh orang awam. Selain
bentuknya yang tidak baku, aspek gramatika musiknya pun sangat berbeda jika
dibandingkan dengan karya-karya tradisi. Kadang-kadang karya-karya musik
seperti ini sering menimbulkan hal yang kontroversial. Seperti yang “anti
tradisi”, padahal secara sadar atau tidak, semua tatanan konsepnya bersumber
dari tradisi. Kategori yang seperti ini lebih dekat atau lebih cocok dengan
fenomena musik kontemporer Barat (Eropa-Amerika).
Di Bali,
aktivitas berkesenian dengan ideologi ”kontemporer” sesungguhnya telah
berlangsung sejak awal abad ke-20 dengan lahirnya seni kekebyaran di Bali
Utara. Namun wacana tentang musik kontemporer mulai mengemuka serangkaian
adanya Pekan Komponis Muda I yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1979.
Komponis muda yang mewakili Bali pada waktu itu adalah I Nyoman Astita dengan
karyanya yang berjudul ”Gema Eka Dasa Rudra”. Pada tahun-tahun berikutnya Pekan
Komponis Muda diikuti oleh komponis-komponis muda Bali lainnya seperti I Wayan
Rai tahun 1982 dengan karyanya ”Trompong Beruk”, I Nyoman Windha tahun 1983
dengan karyanya berjudul ”Sangkep”, I Ketut Gede Asnawa tahun 1984 dengan
karyanya berjudul ”Kosong”, Ni Ketut Suryatini dan I Wayan Suweca tahun 1987
dengan karyanya berjudul ”Irama Hidup”, I Nyoman Windha tahun 1988, dengan dua
karyanya sekaligus yaitu ”Bali Age” dan ”Sumpah Palapa”.
Kehadiran karya
musik kontemporer ini mulai terasa mengguncang persepsi masyarakat akademik di
ASTI dan STSI (kini ISI) Denpasar dan juga di KOKAR Bali (kini SMK 3 Sukawati),
karena musik ini cendrung mengubah cara pandang, cita rasa, dan kriteria
estetik yang sebelumnya telah dikurung oleh sesuatu yang terpola, ada
standarisasi, seragam, global, dan bersifat sentral. Konsep musik kontemporer
menjadi sangat personal (individual), sehingga perkembangannyapun beragam.
Paham inilah yang ditawarkan oleh musik kontemporer, sehingga dalam karya-karya
yang lahir banyak terjadi vokabuler teknik garapan dan aturan tradisi yang
telah mapan ke dalam wujud yang baru, terkesan aneh, nakal, bahkan urakan.
Pada tahun 1987
serangkain dengan tugas kelas mata kuliah Komposisi VI, mahasiswa jurusan
karawitan ASTI Denpasar semester VIII untuk pertama kalinya menggarap sebuah
musik kontemporer dengan judul ”Apang Sing Keto”. Karya yang berbentuk drama
musik ini menggunakan instrumen pokok Gamelan Gong Gede dipadu olahan vokal dan
penggunaan lagu ”Goak Maling Taluh” sebagai lagu pokok. Karya ini kemudian
ditampilkan pada Pesta Kesenian Bali tahun 1987 dan mendapat sambutan meriah
dari penonton. Pada tahun 1988 ketika Festival Seni Mahasiswa di Surakarta,
saya sendiri selaku komponis mewakili STSI Denpasar menggarap karya musik
kontemporer yang berjudul ”Belabar Agung” dengan menggunakan gamelan Gong Gede.
Dua karya terakhir ini sempat mendapat kecaman dari beberapa sesepuh karawitan,
karena dianggap memperkosa dan melecehkan gamelan Gong Gede yang telah memiliki
kaidah-kaidah konvensional yang mapan.
Dua tahun
kemudian, satu garapan musik kontemporer dengan media ungkap berbeda digarap
kolaboratif oleh dua seniman I Wayan Dibia dan Keith Terry yaitu ”Body Tjak”.
Karya ini merupakan seni pertunjukan multikultural hasil kerja sama atau
kolaborasi internasional yang memadukan unsur-unsur seni dan budaya Barat
(Amerika) dan Timur (Bali-Indonesia). ”Body Tjak” digarap dengan penggabungan
unsur-unsur seni Kecak Bali dengan Body Music, sebuah jenis musik baru yang
menggunakan tubuh manusia sebagai sumber bunyi. Garapan bernuansa seni budaya
global ini, lahir dengan dua produksinya yaitu Body Tjak 1990 (BT90) dan Body
Tjak 1999 (BT99) (Dibia, 2000:10). Kedua karya ini memang murni lahir dari
keinginan seniman untuk mengekspresikan jiwanya yang telah tergugah oleh
dinamisme seni kecak dan body music. Dengan berbekal pengalaman estetis
masing-masing, dan diilhami oleh obsesi aktualitas kekinian, kedua seniman
sepakat melakukan eksperimen dalam bentuk workshop-workshop sehingga lahirlah
musik kontemporer Body Tjak.
Kehidupan dan
perkembangan musik kontemporer yang diawali event-event gelar seni baik dalam
dan luar negeri akhirnya juga masuk ke ranah akademik. Mahasiswa jurusan
karawitan ISI Denpasar telah banyak menggarap musik kontemporer sebagai materi
ujian akhirnya. Hingga tahun 2009 penggarapan musik kontemporer masih
mendominasi pilihan materi ujian akhir mahasiswa jurusan karawitan, hal ini
menyebabkan secara produktivitas penciptaan musik kontemporer sangat banyak,
model dan jenisnyapun sangat beragam. Penggunaan instrumen tidak hanya terpaku
pada alat-alat musik tradisional Bali, juga digunakan instrumen musik budaya
lainnya, bahkan mahasiswa sudah mengeksplorasi bunyi dari benda-benda apa saja
yang dianggap bisa mengeluarkan suara yang mendukung ide garapannya.
Musik
kontemporer yang berjudul ”Gerausch” karya Sang Nyoman Putra Arsa Wijaya adalah
salah satu contoh eksplorasi radikal dalam musik kontemporer Bali. Karya ini
sempat memunculkan polemik kecil di kalangan akademik kampus. Berkembang wacana
”apakah karya ini tergolong musik atau tidak, termasuk karya karawitan atau
bukan?”. Namun dengan pemahaman yang cukup alot dari masyarakat akademik
kampus, akhirnya karya kontroversial inipun telah mengantarkan sang komposer memperoleh
gelar S1 Komposisi Karawitan.
· Ciri
– Ciri Musik Kontemporer
Musik
kontemporer memiliki ciri-ciri umum, antara lain:
1.
Warna bunyi bisa sejenis atau bisa berbagai jenis.
2.
Notasi musik hanya dapat dimengerti oleh pemusik karena notasinya ditulis
dengan
simbol
atau tanda.
3.
Memiliki improfisasi yang bervariasi mengikuti keinginan dari pemusik.
4.
Bunyi dapat berasal dari sumber yang beragam,bukan hanya dari instrumen musik.
5.
Jenis tangga nada yang dipakai bervariasi.
6.
Jenis birama tidak terpaku pada satu birama saja.
7.
Dinamik dan tempo bervariasi.
Daftar
Pustaka